oleh: Mgr. Emeritus Wilhelmus Demarteau, MSF
Kita harus menengok ke belakang ke jaman Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II. Tahun 1933 beberapa orang Tionghoa bersama seorang Pastor mengambil keputusan membuka Sekolah Dasar (SD) di Kelayan, Banjarmasin. Nama-nama panitia sekolah itu antara lain Bapak Tjoe Bian Seng, Lim Eng Hin, Liam San Tjiam, dan Pastor P. Schoone, MSF. Pada tanggal 3 Agustus 1933 SD dibuka dalam rumah eks-Kapiten Tionghoa di Rantauan Keliling (R. K.) Ilir 481; SD ini bernama Sekolah Belanda – Tionghoa Roma – Katolik. Para guru bermacam-macam: Pastor P. Schoone, MSF yang dibantu oleh dua nona Indonesia, dua nyonya Belanda dan satu nyonya Tionghoa: Ny. Hages – Vetter, Ny. Stennekens – Wilderink, Ny. Irene Admoe Gosenson, Ny. Liem Swie Hee – Ang Hian Tjie Nio.
Pada hari pembukaan jumlah murid laki-laki sebanyak 125 orang dan murid perempuan sebanyak 84 orang. Sekolah dibuka oleh Asistent Resident. Kantor P&K di Banjarmasin tidak senang dengan adanya Sekolah Katolik di Kota Banjarmasin; Gereja Katolik dipandang sebagai konkuren. Walaupun para guru SD sangat rajin, nilainya korp guru harus ditinggikan. Pastor Schoone mulai mencari bruder untuk SD. Sesudah lama mencari-cari akhirnya dengan bantuan Vikaris Apostolik Pontianak, Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) yang sejak tahun 1921 bekerja di Pontianak mengambil alih SD Katolik di Banjarmasin. Pada tanggal 4 Oktober 1935, 6 (enam) orang Bruder mendarat di Banjarmasin. Nama-nama mereka:
– Br. Maternus Brouwers, MTB
– Br. Honoratus de Meester, MTB
– Br. Mauritius Broeders, MTB
– Br. Gaudentius de Bruyn, MTB
– Br. Libertus Hoppenbouwers, MTB
– Br. Adrianus Kroft, MTB
Nyatalah, Bruder-bruder ini disambut dengan riang gembira. Namun kedatangan Bruder ini menyebabkan kesulitan yang besar. Menurut peraturan Kongregasi Bruder ini, para Bruder hanya boleh mengajar kepada murid laki-laki, sedangkan SD di R. K. Ilir adalah sekolah campuran. Pimpinan Kongregasi Bruder tidak mau merubah peraturan itu. Jadi hanya ada satu jalan keluar adalah sesegera mungkin membangun SD baru untuk murid perempuan. Pastor Schoone terus mulai mencari tanah untuk membangun SD Puteri ini. Para promotor realisasi SD di R. K. Ilir tahun 1933 sekarang bersama Bapak Lim Sek Tjhiang membantu secara luar biasa. Pada tanggal 5 Oktober 1935 murid perempuan pindah dari SD di R. K. Ilir ke SD di Kelayan (Rantauan Timur I). Pada tanggal ini jumlah murid perempuan sebanyak 225 orang.
Disamping membangun, Pastor Schoone sibuk mencari Suster yang bersedia mengasuh SD di Kelayan. Usahanya berhasil. Pada tanggal 11 Oktober 1937 tiba di Pelabuhan Banjarmasin 5 (lima) orang Suster Fransiskanes Dina (SFD). Nama-nama mereka:
– Sr. Laurentine Pijnenburg, SFD
– Sr. Clementia Geerden, SFD
– Sr. Josephina Jacobs, SFD
– Sr. Theobalda van Gool, SFD
– Sr. Josephine Ghuis, SFD
Karena Susteran belum selesai, Suster tinggal dalam 2 (dua) ruangan SD. Bulan Juli 1938 Susteran selesai dan pada tanggal 1 November 1937 pembukaan Sekolah Kepandaian Puteri di Kelayan. Pada tanggal 29 Mei 1938 bintang “Pro Ecclesia et Pontifice” (voor Kerk en Paus) dari Roma diserahkan kepada Bapak Lim Sek Tjhian sebagai tanda penghargaan jasanya untuk sekolah-sekolah Katolik di Banjarmasin. Gubernur Haga, yang sangat anti-Katolik, coba memboikot upacara penyerahan bintang itu, namun usahanya tidak berhasil.
Pada tanggal 5 November 1939, Mgr. J. Kusters, Prefekt Apostolik Banjarmasin memberkati gereja di Kelayan. Separuh dari gereja jadi perumahan untuk Pastor Schoone untuk sementara saja. Tanggal 11 November 1939 Paroki Kelayan “Santa Maria” didirikan dengan batas antara kedua paroki di Banjarmasin adalah Sungai Martapura. Tanggal 8 Desember 1941 Perang Dunia II meletus, Indonesia menghanyutkan. Banyak orang lari ke Jawa atau masuk pedalaman. Sekolah-sekolah terpaksa ditutup, termasuk sekolah-sekolah Katolik. Pada awal 1942, para Suster dan Bruder atas permohonan pemerintah pindah ke kota, dekat rumah sakit darurat. Para Suster dan Bruder telah mengikuti kursus perawat, sehingga jika diperlukan mereka dapat membantu.
Dengan persetujuan Walikota Banjarmasin, Mgr. Kusters dan semua Pastor, Bruder dan Suster (kecuali satu Pastor dan satu Bruder) secara sukarela mengambil keputusan tidak lari ke Jawa atau ke pedalaman, melainkan tinggal di Banjarmasin. Tetapi Walikota menerima kabar dari Balikpapan mengenai kelakuan kebinatangan pasukan Jepang, yang membunuh di sana semua orang putih yang ditangkap. Karena itu Walikota menarik kembali izin kepada personil gereja untuk tinggal di Banjarmasin. Pada tanggal 10 Februari 1942, Walikota memberi perintah keras kepada Mgr. Kusters untuk lari ke Jawa bersama semua Suster dan Bruder dan satu Pastor.
Pada hari yang sama mereka bersama banyak orang lain dengan kapal Roda Lampung ke Kuala Kapuas. Sebuah perahu Makassar “dipinjam” dan menuju Surabaya, dimana mereka tiba pada tanggal 18 Februari 1942. Semula mereka masih bebas dan para Bruder tinggal semua di Bruderan San Louis di Surabaya. Kemudian mereka pergi ke rekan mereka di Blitar, dimana mereka ditangkap pada bulan Agustus 1943 dan akhirnya ditawan di Cimahi, di mana mereka dibebaskan bulan Agustus 1945.
Para suster semula menginap di Susteran Ursulin di Surabaya; bekerja juga di rumah sakit. Bulan September 1943 ditawan oleh Jepang dan bulan Februari 1944 mereka ditawan di Semarang, dimana mereka dibebaskan bulan Agustus 1945. Sesudah perang, suster-suster SFD harus pergi ke Belanda; mereka telah sangat menderita sebagai tawanan. Waktu perang mulai bulan Februari 1942 sampai bulan September 1945 tidak ada Pastor tetap di kedua paroki Banjarmasin. Domba tanpa gembala! Tetapi syukurlah umat Katolik tetap aktif. Kedua paroki bekerjasama dengan dibentuknya semacam Dewan Internparoki. Nama-nama mereka:
– Bapak Jozef Toekinoen (agen polisi)
– Bapak T. O. Wowor (guru)
– Bapak Jozef Liem Hok Tjhiang
Secara teratur umat Katolik kedua paroki berkumpul pada hari Minggu untuk berdoa bersama dan mendengar firman Tuhan. Bapak Liem adalah warga Paroki Kelayan. Bapak Wowor berfungsi sebagai guru agama dan pengkhotbah. Selama perang, umat Katolik di Banjarmasin dikunjungi oleh dua pastor Jepang. Pastor Taniguchi ada di Banjarmasin pada akhir tahun 1944 dan Mgr. Al. Ogihara, S.J. ada di Banjarmasin bulan Agustus tahun 1945. Kedua kunjungan ini sangat dipuji oleh umat Katolik Banjarmasin. Sebelum Perang Dunia II di Paroki Kelayan jumlah orang yang kenal Yesus Kristus sedikit saja. Gedung-gedung gereja di Paroki Kelayan sesudah perang masih dalam keadaan yang cukup baik, tetapi kurang dipelihara.
Tanggal 9 November 1945 SD Bruder di R. K. Ilir dibuka tanpa Bruder, tetapi berkat kerajinan para Pastor MSF, yang waktu perang dari Kalimantan Timur dibawa melalui Banjarmasin ke Puruk Cahu, tempat mereka dibebaskan oleh pasukan Australia.
SD Suster belum dapat dibuka seperti telah ditulis di atas. Suster-suster atas perintah dokter terus dari Jawa pergi ke Belanda. Gedung SD Suster dipakai oleh pemerintah sebagai tempat penginapan para pengungsi dari Jawa. Tetapi Mgr. Kusters, yang pada awal bulan November 1945 telah pulang dari Jawa bersama Pastor P. Schoone, MSF mati-matian berusaha supaya SD Suster selekas mungkin dibuka. Kebetulan Mgr. Kusters mendengar bahwa di Jakarta ada 13 Suster, yang sebenarnya harus kembali ke Sumatera, tetapi itu tidak mungkin karena daerah Sumatera kurang aman. Vikaris Apostolik Medan setuju, bahwa 13 Suster itu boleh bekerja di Banjarmasin selama mereka tidak dapat pulang ke Medan.
Tanggal 22 Maret 1945, 9 (sembilan) orang Suster tiba di Banjarmasin. Bulan September, 4 orang Suster dari Kongregasi Suster Fransiskanes datang dari Bennebroek. Tanggal 1 April 1946 SD Suster dibuka, tetapi di gedung Sekolah Bruder; karena pasukan KNIL telah menduduki gedung SD Suster. Hanya berangsur-angsur gedung sekolah dikembalikan kepada suster. Suster-suster SFD dari Medan itu sangat rajin. Disamping mengurus SD, mereka juga membuka Kursus Kepandaian Putri: Steno, bahasa Inggris, musik, mengetik dan “last not least” pelajaran agama. Tahun 1949 Suster-suster harus kembali ke Sumatera, kemudian Vikaris Apostolik Mgr. Brans memanggil. Dalam tahun yang sama 8 (delapan) orang Suster dari Dongen kembali dari Holland ke Banjarmasin. Nama-nama mereka:
– Sr. Josephine Jacobs, SFD
– Sr. Gebriel Kalkhoven, SFD
– Sr. Wynanda Heidkamp, SFD
– Sr. Eleuteria Gladdnines, SFD
– Sr. M. Antoine Kanters, SFD
– Sr. Chaterina van Bommel, SFD
– Sr. Clementia Geerden, SFD
– Sr. Mauritia van Bavel, SFD
– Sr. Brigritte Fijneman, SFD
Tahun 1951 SMP Bruder dibuka. Tanggal 1 Mei 1950 bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di Sekolah Bruder dan Suster. Saat itu sudah terjadi pengakuan kedaulatan Indonesia oleh pemerintah pada tanggal 27 Desember 1949. Tanggal 1 Juli 1953 SMP Suster dibuka. Tahun 1955 ada suara-suara yang mempropagandakan kepindahan Sekolah-sekolah Suster plus Susteran ke tempat yang lebih cocok. Menurut beberapa orang lama-kelamaan Sekolah Suster tanpa murid. Ada ide untuk memindahkan Sekolah Suster ke bekas gedung HCS II di Jl. Kol. Sugiyono (Pada waktu itu tangsi militer). Panglima AD setuju. Syukurlah soal kepindahan ini pada akhirnya tidak jadi dilakukan.
Tanggal 22 April 1965 Gereja Hati Mahakudus Tuhan Yesus diberkati oleh Mgr. W. Demarteau, MSF. Pada tanggal ini paroki ini secara resmi didirikan. Pastor A. Gielens, MSF diangkat menjadi Pastor pertama paroki ini. Paroki ini dipotong dari wilayah Paroki Santa Maria, Kelayan dan Banjarmasin. Batas antara dua Paroki ini adalah Jl. Ulin (sekarang Jl. A. Yani); sebelah kanan masuk Paroki Kelayan; sebelah kiri masuk Paroki Veteran.
Tahun 1973 Bruderan di R. K. Ilir pindah ke Jl. Veteran. Pada tanggal 10 Desember 1973 Br. Koenraad (anggota Komunitas Bruder MTB di Banjarmasin), ditahbiskan menjadi imam di Tering, Kalimantan Timur. Di mana pada waktu itu Bruder ini dibawah pimpinan seorang Pater MSF mempersiapkan diri untuk tahbisan tersebut. Sayang sekali, Pastor yang baru ini jatuh sakit tahun 1974 dan meninggal di negeri Belanda tanggal 12 Juli 1975.
Tanggal 9 Oktober 1973 terjadi kebakaran besar di Banjarmasin, dimana pada waktu itu di Kelayan sendiri lebih dari 2300 rumah musnah. Dalam peristiwa kebakaran ini, tidak luput pula sebagian dari kompleks Sekolah-sekolah Bruder dilalap api. Dua SD terbakar, juga 6 rumah guru, berikut kantor yayasan turut menjadi korban. Semua arsip SD I, II dan III habis terbakar, termasuk didalamnya arsip SMP Bruder. Namun berkat kerjasama yang prima antara Bruder dan Suster di Banjarmasin, semua sekolah tetap berjalan terus. Untunglah Kompleks Bruder yang menjadi korban kebakaran telah diasuransikan dan suatu karya amal di Belanda membayar Fl. 200.000,- (mata uang Belanda).
Tanggal 14 Juni 1981 adalah tanggal yang hitam sekali dalam sejarah gereja di Keuskupan Banjarmasin, dimana terjadi perpisahan Kongregasi Bruder MTB yang telah berkarya di Banjarmasin sejak tahun 1935. Tahun 1974 Superior Jenderal Kongregasi Bruder MTB sudah memberitahukan kepada Mgr. Demarteau bahwa beberapa tahun lagi semua bruder MTB di Banjarmasin akan pindah ke Kalimantan Barat karena tenaga mereka amat diperlukan di sana. Uskup Banjarmasin mengira bahwa nanti rencana tersebut akan dilupakan. Namun Mgr. Demarteau keliru, sebab pada bulan Oktober 1977 Superior Jenderal Bruder MTB di Belanda mengirim pemberitahuan yang kedua: “Kongregasi Bruder MTB terpaksa harus lebih memusatkan tenaga di Kalimantan Barat dan itu berarti bahwa rumah Bruder MTB di Banjarmasin ditutup.”
Uskup dan banyak orang lain sangat terkejut. Mgr. Demarteau kemudian menghubungi Uskup Agung di Pontianak, mengirim surat kepada Dewan Regional di Pontianak dan kepada Dewan Jenderal di Belanda, berunding dengan Bruder MTB di Indonesia dan Belanda di Banjarmasin. Para Bruder MTB yang ada di Banjarmasin menyatakan bahwa mereka tidak suka dipindah dan sangat menyayangkan penutupan rumah MTB di Banjarmasin.
Usaha Mgr. Demarteau ternyata tidak membuahkan hasil. Superior Bruder MTB menetapkan bahwa tahun belajar 1980/1981 adalah tahun penutup bagi aktivitas Bruder MTB di Banjarmasin. Pada tanggal 14 Juni 1981 di aula SMA di Jl. R. K. Ilir diadakan perpisahan resmi. Suasana di aula sangat “down”. Pada waktu itu hadir Br. Domitius, MTB (Superior Regional MTB di Kalimantan Barat), Mgr. Demarteau, banyak Pastor, Suster, umat, murid Sekolah Bruder dan para alumni. Isi pidato-pidato yang dibacakan, semua sama : “Perpisahan ini melukai hati, ucapan terima kasih kepada yang pergi dan kepada yang masih tinggal, Tuhan memberkati kita sekalian, semoga!”
Pada akhir bulan Juni 1981 jumlah murid SMP Bruder 369 murid, sedangkan jumlah murid di 3 buah SD Bruder sebanyak 784 murid. SMA Katolik dahulu bukan Sekolah Bruder, tetapi milik Keuskupan Banjarmasin. Berhubung dengan kepidahan bruder MTB ke Kalimantan Barat, 3 gedung SD Bruder di Banjarmasin diserahkan kepada Keuskupan Banjarmasin. Secara gratis diserahkan gedung sekolah, tanah sekolah, rumah-rumah guru, inventaris sekolah. Hanya Bruderan di Jl. Veteran yang dibeli oleh pihak Keuskupan.
Sejak tahun 1935 sampai bulan Juni 1981, 36 Bruder MTB telah bertugas di Keuskupan Banjarmasin (terdiri dari 26 orang Bruder Belanda dan 10 orang Bruder Indonesia). Pada tanggal 23 Mei 1997 terjadi kerusuhan di Banjarmasin. Pada tanggal itu giliran terakhir kampanye Golongan Karya (Golkar) di Banjarmasin, bertempat di lapangan di Jl. Kamboja. Tetapi dengan mendadak di lapangan itu ada juga peserta kampanye dari partai lain yaitu dari PPP. Mereka ini membakar pakaian seragam Golkar. Mereka bersenjata tajam dan menyerang orang-orang Golkar, sehingga jatuh banyak korban dan harus dilarikan ke rumah sakit. Laki-laki dan perempuan yang berpakaian Golkar diminta untuk membuka baju. Usai memporakporandakan peserta kampanye Golkar, mereka mulai merusakkan gedung gereja Katedral, kaca-kaca jendela gereja yang baru saja dipasang dihancurkan. Sekelompok orang mencoba membakar gedung “Sasana Sehati”, tetapi syukurlah masih ada orang-orang yang berani dan berhasil memadamkan api.
Rombongan perusak juga bergerak ke Kelayan. Satu truk penuh massa PPP beserta rombongan massa PPP bersepeda motor bermaksud merusak dan membakar gereja di Kelayan. Niat mereka dihalang-halangi oleh penduduk kampung karena para penduduk kampung takut bila gedung gereja dibakar maka dapat menyebabkan seluruh kampung menjadi lautan api. Urung membakar gedung gereja, mereka memecahkan kaca jendela, merusak pintu-pintu gereja, memenggal patung, juga merusakkan meja marmer. Tetapi Sakramen Mahakudus dapat diselamatkan oleh koster. Sedangkan gedung pastoran tidak mereka rusak.
Sesudah melakukan aksi brutalnya, para perusak menuju Jl. R. K. Ilir. Pada waktu itu SMA Katolik tidak luput dari serangan massa yang ganas. Mereka memecahkan kaca-kaca, merusak pintu-pintu, lemari, komputer dan gambar wakil presiden. Ada sebagian massa yang mengambil komputer dan matras. Gedung SMP Katolik di Kelayan diserang juga, kaca-kaca dipecahkan. SD III Katolik mengalami nasib yang serupa, kaca-kaca jendela dipecahkan, meja-meja dan kursi dirusak. Rupa-rupanya dalam insiden ini, Kompleks Sekolah Suster di Kelayan dilindungi oleh pasukan elite malaikat.
“Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah tukangnya bekerja.” (Mzm. 127)